Kamis, 11 November 2010

RUU APP DAN TANTANGAN KEUTUHAN NKRI

1.Pornografi, Definisi dan Dampaknya
Definisi pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. Dalam bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harfiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur". Sedangkan pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".

Apapun definisinya, yang jelas dalam prakteknya pornografi sama sekali tidak melahirkan kemasylahatan atau pencerahan seperti apa yang dikatakan oleh para seniman. Bahkan dampak negatif dari pornoaksi ini sangat besar sekali, terutama bagi keutuhan moral bangsa. Berbagai tindakan pelecehan seksual menjamur hampir setiap hari dapat kita saksikan dipemberitaan media masa.
Disamping itu pornoaksi memang lebih dipengaruhi oleh trend budaya barat dan sangat bertentangan sekali dengan budaya ketimuran. Arus tranformasi budaya yang mudah kita akses memberikan peluang besar masuknya budaya-budaya Barat. Dan ironisnya budaya itu bukan hanya sekedar kita ekspos namun tanpa sadar secara perlahan kitapun terbawa kedalamnya, dan kita lupa siapa diri kita sebenarnya, siapa dan bagaimana budaya leluhur kita.
2. Upaya Pemerintah Menanggulangi Pornografi dan Porno Aksi
Akhirnya masalah pornoaksi ternyata tak dapat dipandang sebelah mata. Sejak tahun 1997 pemerintahpun mulai mengadakan pembahasan akan RUU APP (Rancangan Undang-Undng Anti Pornografi Dan Pornoaksi). Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal. Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".
Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harfiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini adalah adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi".
Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi.
3. Kontroversi di Masyarakat
Setelah melalui proses sidang yang panjang dan beberapa kali penundaan, pada 30 Oktober 2008 siang dalam Rapat Paripurna DPR, akhirnya RUU Pornografi disahkan. Terlepas dari itu semua ternyata isi RUU Pornografi masih menimbulkan polemik antara kelompok yang mendukung dan yang menolak RUU Pornografi. Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.
Dari sisi substansi, RUU ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain RUU ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain.
Pihak yang menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Porno ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.
RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila.
Tapi persepsi yang berbeda tampak pada pandangan penyusun dan pendukung RUU ini. Mereka berpendapat RUU APP sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya Indonesia, tetapi untuk membentengi ekses negatif pergeseran norma yang efeknya semakin terlihat akhir-akhir ini. Karena itulah terdapat salah satu eksepsi pelaksanaannya yaitu yang menyatakan adat-istiadat ataupun kegiatan yang sesuai dengan pengamalan beragama tidak bisa dikenai sanksi, sementara untuk pertunjukan seni dan kegiatan olahraga harus dilakukan di tempat khusus pertunjukan seni atau gedung olahraga (Pasal 36), dan semuanya tetap harus mendapatkan ijin dari pemerintah dahulu (Pasal 37).
4. Solusi dan konklusi
Kelompok penolak tak perlu bersembunyi dibalik jargon yang mengatasnamakan nilai-nilai seni, perusakan budaya dan lain sebagainya hanya untuk merongrong RUU APP. Yang perlu dipikirkan bersama sekarang adalah solusi bagaimana agar RUU APP ini menjadi aturan yang dapat diterima bersama. Bukan malah menghembuskan isu-isu yang justeru melahirkan polemik berkepanjangan. Kita harus berfikir bahwa manusia itu adalah makhluk yang beradap. Pada mulanya manusia tercipta dalam keadaan peradaban yang sangat primitive dan rendah. Kehidupan manusia tak jauh beda dengan kehidupan binatang. Tapi, nyatanya lambat laun manusia bisa mencapai martabat yang tinggi. Pendidikan yang maju mampu merubah kehidupan manusia tanpa adanya beban yang membebani perubahan itu. Semuanya berjalan dengan wajar dan normal.
Sebagian mereka merongrong RUU APP dengan alasan sangat tidak menghargai kebebasan karya seni. Ini juga patut dipertanyakan. Sejak kapan eksploitasi tubuh wanita menjadi objek seni? Yang ada justru tubuh wanita lebih banyak di eksploitasi dan menjadi barang komoditi. Dan ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bisakah kita katakan melihat wanita yang telanjang dengan kata menikmati karya seni?. Bila arti pornografi sebagai karya seni saja masih dipertanyakan, lantas kenapa kita harus menolak RUU APP dengan alasan mengekang kebebasan karya seni. Kenapa kita tidak mencoba untuk bertanya berapa wanita yang merasa terhina dengan adanya ekploitasi tubuh mereka secara besar-bearan? Berapa jumlah orang tua yang dilanda kekhawatiran dengan adanya kebebasan pornografi dan pornoaksi?
Bagaimanapun juga RUU APP telah disahkan. Dan tentunya hal ini memerlukan ketegasan dari pemerintah bukan sebatas wacana undang-undang yang mengatur tentang pornografi dan pornoaksi. Bagaimana pun juga, dampak negatif pornografi dan pornoaksi lebih terlihat dimasyarakat daripada apa yang dikhawatirkan golongan yang menolak RUU APP. Sejauh ini, memang hanya ketegasan pemerintah yang dinilai kurang, namun agar RUU APP dapat terealisasi juga perlu adanya kerja sama diantara setiap elemen masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar