Sabtu, 19 Mei 2012

Never Ending Story

Aku adalah sebuah kertas tanpa warna Sebelum sebuah kisah ditorehkan di atasku Aku telah dibekali senyum oleh Tuhanku Senyum ini yang kelak terus menjadi warna dominanku Dan kisahku pun mulai mengalir Mengikuti goresan pena waktu tanpa tinta Bermula dari kisah sederhana Bahkan terlalu biasa untuk sekedar diceritakan Namun kesederhanaan itu menjadi istimewa Keistimewaan itu lantas menjadi keindahan Sederhana yang indah Sesederhana aku mengenal dia Seindah yang akhirnya aku hanya bisa mengenangnya Tinta itu terus menari mengalir waktu Mengisi lembar-lembar kosongku Ini kisah tentang perasaan. . . Hanya tentang perasaan Perasaan dengan berbagai warna Dalam kisah ini kamus sedih sangat dilarang Sekalipun ada. . . sekalipun nyata Ketika aku melihat ‘Senyum’ Tuhan Warna-warnaku pun akhirnya hanyalah senyuman ......................### dalam kisah ini tak ada tokoh yang ada hanya perasaan. . . perasaan dari seseorang yang akan selalu riang namun perasaan itu tidak sendirian di sana ada perasaan yang lain dua perasaan ini yang akan mengisi lembar demi lembar kisah ini ehm....lembarnya adalah hari-hari indah ada asa, harapan dan impian. . . hanya saja cerita ini tidaklah sendirian mengalur seperti yang diinginkan... tidak... karena aku hanya ‘kertas’ putih milik Tuhan ini adalah skenario Tuhan setiap lompatannya adalah keindahan sekalipun terkadang sangat mengejutkan terkejut karena perasaan ini yang dangkal dangkal dan lambat untuk mengerti dan memahami bahkan baru bisa dimengerti. . . Jauh setelah aku sampai pada lembar-lembar halaman berikutnya Lembar-lembar yang sebelumnya aku tak tahu... Bahkan tak ada seorangpun yang tahu.... Begitulah kisah-kisah ini terus mengikuti ‘tinta’ Tuhan Beruntungnya aku. . . ‘Senyum’ itu selalu ada dalam keyakinanku Menjadi keimanan yang membuat air mataku mahal Ya..... Jika Tuhan selalu ‘tersenyum’ menuliskan kisahku dengan kemahatahuannya Sedangkan aku tak tahu apa-apa Bagaimana mungkin air mata ini kuasa jatuh? Tapi aku yakin Dia pasti tahu.... Dia pasti akan memanjakan aku dengan kesabaran... Saat aku gelisah dan risau. . . Menunggu kejutan-kejutan indah di hari esok... ....................### Sesekali cerita ini berada di puncak lara Kisah yang tertulis teramat pedih menggores Sementara pena itu tetap seperti biasa Terus mengalir tanpa ekspresi. . .tanpa peduli Bagiku serasa kejam dan tak adil Membuatku seolah hilang arah Tak tahu entah ini berada di halaman berapa Halaman ini membuat aku lupa Di halaman ini aku seolah lupa segalanya Bahwa ini masih dalam sekenario-Nya Resah...gundah....gelisah....galau.... Seolah menjadi topik utama Lalu aku menatap pena itu seolah bertanya Sampai kapan? Tapi air mataku tersenyum. . . Ehm. . . . . Tak ada jawaban. . . Dan aku terus tersenyum. . . Sambil meyakinkan pertanyaanku tadi. . . Ini pasti indah ya??? Tuhan,...maaf aku tak tahu Bukan aku tak sanggup. . . Tapi beri aku jeda untuk mencerna Masih belum ada jawaban. . . Atau mungkin aku yang tak menyadari hadirnya jawaban itu. . . Dengan tetap membawa senyuman Hadiah Tuhan. . .sejak awal goresan tinta mengisi lembar demi lembarku Tak kan pernah lepas dari hatiku. . . Aku akan selalu tersenyum mengikuti kisah indahku Indah yang saat ini masih berupa keyakinan Sebelum benar-benar indah pada waktunya nanti ......................TO BE CONTINUE Continue ..

Minggu, 17 April 2011

Debat Sunni vs Wahhabi

Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh. Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju'nat al-'Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini.

Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani' di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah SWT dan bahwa Allah itu ada di atas Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi. Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur'an yang secara literal (zhahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah itu ada di atas Arasy sesuai keyakinan mereka. Lalu terjadilah dialog berikut ini:
Al-Ghumari: "Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur'an?"
Wahhabi: "Ya."
Al-Gumari: "Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut wajib?"
Wahhabi: "Ya."
Al-Ghumari: "Bagaimana dengan firman Allah:

"Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada." (QS. al-Hadid : 4).
Apakah ini termasuk al-Qur'an?"
Wahhabi: "Ya."
Al-Ghumari: "Juga firman Allah:

"Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya…." (QS. al-Mujadilah : 7).
Apakah ayat ini termasuk al-Qur'an juga?"
Al-Ghumari: "(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan ini? Padahal kesemuanya juga dari Allah?"
Wahhabi: "Imam Ahmad mengatakan demikian."
Al-Ghumari: "Mengapa kalian taklid kepada Ahmad? Apakah kalian mengikuti dalil?"
Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Satu kalimat pun tidak keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita'wil, sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah ada di langit tidak boleh dita'wil. Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan menta'wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta'wil ayat-ayat kalian sebutkan tadi?
Seandainya mereka mengklaim adanya ijma' ulama yang mengharuskan menta'wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafizh Ibn Hajar tentang ijma' ulama salaf untuk tidak menta'wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur'an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan pengertiannya kepada Allah SWT)." Demikian kisah al-Ghumari.

Oleh:
Muhammad Idrus Ramli
Continue ..

Sabtu, 08 Januari 2011

WAJIBKAH SHALAT JUM'AT PADA HARI RAYA?

Sepertinya, hari raya idul fitri yang akan datang, akan jatuh pada hari Jum’at. Sebagaimana pada hari raya idul adha yang lalu yang juga jatuh pada hari Jum’at. Ada sebuah persoalan yang selalu menjadi materi pertanyaan dan pembicaraan ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’at masih dihukumi wajib?
Menjawab pertanyaan tersebut, ada tiga pendapat di kalangan ulama madzhab empat.

Pertama, pendapat madzhab al-Syafi’i yang mengatakan, bahwa ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka penduduk kampung yang mendengar panggilan shalat id boleh pulang dan meninggalkan shalat Jum’at. Kebolehan meninggalkan shalat Jum’at tersebut berlaku, ketika mereka mengikuti shalat hari raya, dan seandainya mereka pulang ke rumah mereka, maka mereka tidak akan dapat mengikuti shalat Jum’at. Kebolehan meninggalkan shalat Jum’at bagi mereka semata-mata karena rukhshah, keringanan dan dispensasi. Oleh karena itu, ketika penduduk desa itu tidak menghadiri shalat id, maka mereka jelas wajib menghadiri shalat Jum’at. Disamping itu, kebolehan penduduk desa itu meninggalkan shalat Jum’at, disyaratkan pulang dari shalat id itu sebelum masuk waktunya Jum’at, yaitu waktu zhuhur. Demikian pendapat golongan Syafi’iyah.
Kedua, pendapat madzhab Hanafi dan Maliki. Menurut kedua madzhab ini, apabila hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka orang yang menghadiri shalat id tetap tidak dibolehkan meninggalkan shalat Jum’at. Al-Imam al-Dusuqi berkata, baik mereka yang menghadiri shalat id di kampungnya atau di luar daerahnya.
Ketiga, pendapat madzhab Hanabilah. Menurut madzhab Hanbali, apabila hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka orang yang menghadiri shalat id dan melakukan shalat zhuhur, boleh meninggalkan shalat Jum’at, dalam artian shalat Jum’at gugur bagi orang tersebut. Menurut golongan Hanabilah, gugurnya shalat Jum’at itu hanyalah gugurnya menghadiri Jum’at, bukan gugurnya kewajiban Jum’at. Sehingga posisi orangyang menghadiri shalat id itu sama dengan orang-orang yang punya uzur seperti orang sakit, atau punya kesibukan yang membolehkan meninggalkan shalat Jum’at. Namun kewajiban shalat Jum’at tidak gugur bagi orang tersebut, dalam artian, orang itu dapat menjadi sebab sahnya shalat Jum’at dan sah menjadi imam Jum’at. Akan tetapi menurut golongan Hanabilah ini, menghadiri shalat Jum’at jelas lebih utama. Walahu a’lam. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 27, hal. 208).
Continue ..

Sabtu, 01 Januari 2011

Mengapa kita harus bermazhab dari salah satu yang empat mazhab?

JAWAB:
Berbicara mengenai taklid kepada salah satu madzhab yang empat berarti kita berbicara mengenai bagian yang sangat urgen. Sebab, bagaimanapun “bermakmum” kepada salah satu mujtahid merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari oleh siapa saja yang masih belum memiliki otoritas untuk berijtihad.
Pola hubungan mujtahid-muqallid dianggap penting untuk mengantarkan proses hubungan vertikal yang lurus dan benar antara hamba dengan Tuhannya, atau hubungan horizontal yang teratur antara hamba dengan sesamanya. ”Man qallada ‘âliman laqiya Allâha sâliman”, barang siapa mengikuti orang alim maka ia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan selamat.
Lalu apa yang menjadi dalil akan keharusan kita untuk bertaklid? Allah berfirman dalam al-Qur’an:


فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (الأنبياء [21]: 7)

Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7)

Ayat ini menegaskan bahwa bagi siapa saja yang tidak tahu tentang sesuatu maka bertanyalah kepada orang yang membidanginya. Lebih tegas lagi dijelaskan dalam ayat berikut:

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ (النساء [4]: 83)

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang yang ingin mengetehui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka. (QS. an-Nisa’ [4]: 83).

Menurut para ulama, ayat ini menegaskan bahwa orang yang bisa melakukan istinbath (menggali hukum dari sumbernya) hanyalah orang yang memiliki keahlian berijtihad. Sementara sejarah berbicara bahwa pada masa kini sudah tidak ditemukan seorangpun yang mencapai posisi mujtahid. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan, bahwa setelah priode asy-Syafi’i tidak pernah ditemukan lagi seorang mujtahid muthlaq atau mujtahid mustaqil.

***

Sebenarnya, madzhab yang boleh diikuti tidak terbatas pada empat saja. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Alawi bin Ahmad as-Seggaf dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah:

”Sebenarnya yang boleh diikuti itu tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Bahkan masih banyak madzhab ulama (selain madzhab empat) yang boleh diikuti, seperti madzhab Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Ishaq bin Rahawaih, Daud azh-Zhahiri dan al-Auza’i (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hlm 59).

Namun mengapa yang diakui serta diamalkan oleh golongan Ahlussunnah wal-jamaah hanya empat madzhab saja? Sebenarnya, yang menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid beliau-beliau yang kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga semua pendapat imam tersebut dapat terkodifikasi dengan baik, akhirnya validitas dari pendapat-pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Di samping itu, madzahibul arba’ah ini telah teruji keshalihannya sepanjang sejarah, sebab memiliki metode istinbat yang jelas dan sistematis, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sebagaimana masih ditegaskan oleh Sayyid ‘Alawi bin Ahmad as-Seggaf dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah:

Sekelompok ulama dari kalangan ashhab kita (ashhâbina) mengatakan bahwa tidak diperbolehkan bertaklid kepada selalin madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur periwayatannyatidak valid, sebab tidak ada sanad (mata rantai) yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan. Berbeda dengan madzhab yang empat. Para tokohnya telah mengerahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahindnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman dari terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta meraka juga mengetahui pandapat yang shahih dan yang lemah. (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hlm 59)

Jadi kesimpulannya, kita tidak diperbolehkan melakukan ijtihad sendiri, sebab kita tidak mempunyai bekal yang memadai untuk sampai pada tingkatan itu, kendati pintu ijtihad masih terbuka selebar-lebarnya. Dan yang boleh diikuti pada saat ini madzhab yang empat, sebab madzhab di luar madzhab yang empat tidak mudawwan (terkodifikasi), dan mata rantai periwayatannya telah terputus.
*di sarikan dari www.sidogiri.net
Continue ..

Ayam dan Telur

Melihat ayam betinanya bertelur, Baginda tersenyum. Beliau memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barangsiapa yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas. Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.

Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas.

Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal. Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri. Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung. Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta pertama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya, "Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" "Telur." jawab peserta pertama.
"Apa alasannya?" tanya Baginda.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur." kata peserta pertama menjelaskan. "Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?" sanggah Baginda. Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. la tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara. Kemudian peserta kedua maju. la berkata, "Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan."
"Bagaimana bisa bersamaan?" tanya Baginda.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila teiur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami." kata peserta kedua dengan mantap. "Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?" sanggah Baginda memojokkan. Peserta kedua bjngung. la pun dijebloskan ke dalam penjara.
Lalu giliran peserta ketiga. la berkata;
"Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur." "Sebutkan alasanmu." kata Baginda.
"Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina." kata peserta ketiga meyakinkan. "Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak ada." kata Baginda memancing.
"Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri." peserta ketiga berusaha menjelaskan. "Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?"
Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. la pun dimasukkan ke penjara.
Kini tiba giliran Abu Nawas. la berkata, "Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam."
"Coba terangkan secara logis." kata Baginda ingin tahu "Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam." kata Abu Nawas singkat. Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak nyanggah alasan Abu Nawas.

Continue ..