Jumat, 12 November 2010

PERBUATAN PIDANA DAN UNSUR PERTANGGUNG JAWABANNYA

A.Perbuatan Pidana

1.Istilah Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sangsi) berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut.
Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang sangat erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dengan yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan pidana, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit. Pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah in, karena timbuhnya dari pihak Kementerian Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kita “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah-laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”.
Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.
2.Unsur-Unsur Atau Elemen Perbuatan Pidana
Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir atas perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adanya suatu kejadian dalam alam lahir.
Yang merupakan unsur-unsur perbuatan pidana adalah:
a.Kelakuan dan akibat (perbuatan).
Yaitu suatu perbuatan manusia yang menyebabkan terjadinya pelanggaran atau kejahatan pidana.
b.Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
Oleh van Hamel hal ikhwal ini dibagi menjadi dua golongan yaitu, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pembuat.
c.Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Misalnya penganiayaan menurut pasal 351 ayat 1 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Tapi jika perbuatan menimbulkan luka-luka berat, ancaman pidana diberatkan menjadi lima tahun dan jika mengakibatkan mati, menjadi tujuh tahun (pasal 351 ayat 2 dan 3).
d.Unsur melawan hukum yang obyektif.
Yaitu unsur yang jelas atau menyertai perbuatan secara lahir yang dilakukan oleh seseorang. Misalnya pasal 167, bahwa terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk masuk ke dalam rumah orang lain dengan cara melanggar hukum.
e.Unsur melawan hukum yang subyektif.
Yaitu sifat melawan hukum yang dilihat dari sikap batin terdakwa. misalnya dalam pasal 362 KUHP di sini dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang orang lain dengan maksud barang itu untuk dikembalikan pada pemiliknya. Hal ini yang seperti ini tidak dilarang, karena niat si pelaku baik, sebaliknya kalau hatinya itu jelek, yaitu barang akan dimiliki sendiri dengan mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian.
3.Pembagian Jenis Tindak Pidana
Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana, maka tindak-tindak pidana atau delik-delik itu pertama-tama dibagi atas dua golongan, yaitu kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran.
Sebenarnya antara keduanya tidak ada perbedaan yang teagas, oleh karena keduanya adalah sama-sama tindak pidana atau perbuatan yang boleh dihukum. Oleh karena itu, oleh undang-undang senantiasa perlu ditegaskan dengan nyata dalam undang-undang itu sendiri manakah yang kejahatan dan mana yang harus dipandang sebagai pelanggaran.
Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran itu berdasarkan perbedaan antara apa yang disebut delik hukum (rech tsdelict) dan delik undang-undang (wetsdelit).
Suatu perbuatan merupakan delik hukum (kejahatan), jika perebutan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang hidup dalam rasa hukum di kalangan rakyat.
Sebaliknya delik undang-undang (pelanggaran) ini adalah merupakan peristiwa-peristiwa pidana yang kecil-kecil seperti minta-minta di jalan umum, mengadu ayam tanpa izin, berjalan di kanan jalan, memberhentikan kendaraan di tikungan jalan. Ancaman pidananya pun lebih ringan daripada kejahatan-kejahatan.
Akibat hukum antara kejahatan dan pelanggaran itu berbeda sekali menurut undang-undang. Diantaranya adalah :
a.Dalam hal kejahatan diadakan perbedaan antara sengaja ”opzet”(delik dolus) dan tidak sengaja “schuld”(delik kulpa). Misalnya perbuatan menimbulkan kebakaran, peletusan dan banjir itu apabila dilakukan dengan sengaja, merupakan kejahatan yang diancam pidana penjara selama-lamanya seumur hidup (pasal 187 KUHP), sedangkan apabila terjadinya itu karena tidak sengaja hanya diancam penjara selama-lamanya lima tahun saja (pasal 188 KUHP). Sebaliknya dalam pelanggaran tidak dibedakan antara sengaja dan tidak sengaja.
b. Pada umumnya percobaan pada kejahatan dapat dipidana, sedang pada pelanggaran tidak (pasal 54 KUHP), walaupun ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dipidana, misalnya percobaan penganiayaan (pasal 351 ayat 5 KUHP). Sebaliknya ada beberapa pelanggaran yang percobaanya dapat dipidana, misalnya dalam undang-undang obat bius.
c.Membantu melakukan kejahatan dipidana, akan tetapi pada pelanggaran tidak (pasal 60 KUHP).
d.Gugurnya karena lewat waktu (daluwarsa) hak penuntutan pidana dan hak menjalankan pidana (pasal-pasal 78 dan 84 KUHP) bagi kejahatan lebih panjang dari pada pelanggaran.
e.Pelanggaran-pelanggaran diancam pidana lebih ringan daripada kejahatan-kejahatan, kecuali dalam beberapa hal.
f.Pada pelanggan yang ancaman pidananya hanya terdiri dari pidana denda saja, orang bersalah dapat menghindarkan diri dari penuntutan pidana dengan membayar denda yang setinggi-tingginya diancamkan (pasal 82 KUHP), pada kejahatan tidak mungkin.
4.Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
Menurut Prof. Moeljatno, SH. Merumuskan perbuatan pidana itu ada tiga cara yaitu :
Pertama: rumusan perbuatan pidana terdapat dalam KUHP khususnya dalam Buku II dan Buku III dengan maksud agar diketahui dengan jelas perbuatan apa yang dilarang. Untuk mengetahui maksud rumusan tersebut perlu menentukan unsur-unsur atau syarat-syarat yang terdapat dalam perbuatan pidana itu, misalnya pencurian pasal 362 KUHP, unsur-unsur yang terdapat dalam pencurian ialah mengambil, yang diambil adalah barang orang lain, dengan maksud memiliki dengan cara melawan hukum.
Kedua : apabila rumusan pasal perbuatan pidana tidak mungkin, ditentukan unsur-unsurnya maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek peradilan. Misalnya penganiayaan pasal 351 KUHP, rumusan dalam pasal tersebut adalah rumusan umum, batas-batasnya tidak ditentukan dalam rumusan itu maka ilmu pengetahuan telah menetapkan bahwa isi daripada “Penganiayaan” ialah dengan sengaja menimbulkan nestapa (leed) atas rasa sakit pada orang lain.
Ketiga: untuk menentukan perbuatan pidana digunakan selain menentukan dengan unsur-unsur perbuatan pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari perbuatan pidana tersebut. Misalnya seorang pencuri tidak segera menjual hasil curian, tetapi menunggu waktu dengan hasrat mendapat untung. Rumusan tersebut memenuhi unsur penadahan pasal 480 KUHP namun karena kualifikasi kejahatannya sebagai pencuri maka tetap melanggar pasal 362 KUHP bukan sebagai penadah.
B.Pertanggung Jawaban Dalam Hukum Pidana
Meskipun orang telah berbuat dan memenuhi unsur pidana berarti bahwa orang itu telah melakukan perbuatan pidana. Karena masih diperlukan pula unsur kesalahan yang merupakan pertanggung-jawaban perbuatan untuk dapatnya orang dipidana:
1.Adanya kemampuan bertanggung-jawab.
2.Adanya sikap batin atas perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
3.Adanya keinsyafan atas perbuatannya.
4.Tidak ada alasan pemaaf.
Pertamanya perbuatan pidana dilakukan itu terdiri atas unsur-unsur lahir dan setelah perbuatan pidana dilakukan, pertanggung-jawaban didasarkan atas unsur-unsur batinnya, setelah itu baru jelas perbuatan pidana dapat dibedakan antara perbuatan pidana dalam pertanggung jawaban dalam hukum pidana (antara criminal ach dan criminal responsibility).
Dalam KUHP kita tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung-jawab. Yang berhubungan dengan itu ialah pasal 44 :”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”. Kalau tidak dapat dipertanggung-jawabkan itu dikarenakan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal karena masih sangat muda dan lain, pasal tersebut tidak dapat dipakai.
Dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung-jawab harus ada:
1.Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
2.Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Yang pertama merupakan faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah -lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang baik.
Sebagai konsekuensi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendakNya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, ia tidak mempunyai kesalahan dan kalau melakukan pidana. Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
Orang yang tak mampu bertanggung-jawab karena jiwanya tidak normal, mungkin dianggap berbahaya bagi masyarakat. Karena itu dalam pasal 44 ayat 2 hakim diberi wewenang untuk memerintahkan agar terdakwa ditempatkan dalam rumah sakit jiwa selam waktu percobaan satu tahun. Sekali masuk rumah sakit dia hanya bisa keluar kalau sudah dianggap sembuh (tidak berbahaya) oleh pimpinan rumah sakit tersebut, bukan oleh hakim.
Dalam merumuskan dalam KUHP ketidakmampuan bertanggung jawab sebagai hal yang menghapuskan pidana, orang dapat menempuh 3 jalan, yaitu:
1.Ditentukan sebab-sebab yang menghapuskan pemidanaan.
Contoh : pasal 19 KUHP Tingkok 1955. An act done by an insane person is not punishable. Menurut sistem ini, jika tabib (psychiater) telah menyatakan bahwa terdakwa adalah gila (insane) atau tak sehat pikirannya (unsound mind), maka hakim tidak boleh menyatakan salah dan menjatuhkan pidana. Cara ini menurut Code Penal Perancis yang dalam pasal 64 menentukan :ll n’ya ni crime ni delit lors que le prevenu etait en etat de memencet au temps de L’actiion. Ini dinamakan sistem deskriptif (menyatakan).
2.Menyebutkan akibatnya saja, penyakitnya sendiri tidak ditentukan.
Misalnya : nothing is an offence which is done by a person who at the time of doing it, is incapable of knowing the nature of the act or that he is doing either wrong or contrary to law. Di sini yang penting ialah, apakah dia mampu menginsyafi makna perbuatannya atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu yang tidak baik atau bertentangan dengan hukum. Perumusan ini luas sekali mungkin ada bahayanya. Sistem ini dinamakan normative (mempernilai). Di sini hakimlah yang menentukan.
3.Gabungan dari 1 dan 2, yaitu menyebabkan sebab-sebabnya penyakit jika dan penyakit itu harus sedemikianlah rupa akibatnya hingga dianggap tak dapat dipertanggung-jawabkan padanya (deskriptif I normative). Cara ini yang sering dipakai. Untuk menentukan bahwa terdakwa tidak mampu bertanggung-jawab tidak cukup ditentukan oleh psychiater atau hakim itu sendiri tapi harus ada kerja sama antara keduanya. Yang pertama menentukan adanya penyakit, yang kedua memberi nilai seberapa parahnya penyakit sehingga perbuatan tak dapat dipertanggung jawabkan padanya.
Dengan adanya aturan yang berhubungan dengan kemampuan bertanggung-jawab seperti dirumuskan dalam pasal 44 KUHP, yang hanya mengenai ketidakmampuan bertanggung-jawab karena jiwa yang cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, maka akibatnya kalau tidak mampu bertanggungjawabnya karena jiwa yang masih sangat muda, pasal tersebut tidak dapat dipakai sehingga harus memakai dasar yang lebih luas yaitu asas yang tidak tertulis.



Daftar Pustaka

Moeljatno.2002.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta.RINEKA CIPTA.
Soeharto.1993.HUKUM PIDANA METERIL, Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan.Jakarta.SINAR GRAFIKA.
Soesilo.1984.Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-Delik Khusus.Bandung.
Kitab Undang-Undang JUHP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar