Jumat, 12 November 2010

Al-MASLAHAH AL-MURSALAH

A.Pengertian Maslahah Mursalah

Menurut imam al-Ghazali, secara harfiah, maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menghindari kerugian. Tapi yang dikehendaki dalam pembahasan maslahah di sini adalah melestarikan tujuan-tujuan syari’at. Dimana tujuan syaria’t dalam Islam terhadap makhluk hidup itu mencakup lima hal yaitu; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan.
Dari tujuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap hal yang memiliki lima prinsip dasar di atas adalah maslahah. Sedangkan segala hal yang menjadi penghalang tercapainya lima prinsip dasar tersebut adalah mafsadah. Dan penolakan atas mafsadah adalah maslahah.

Menurut istilah ulama ushul maslahah adalah kemaslahatan yang oleh syari’ tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu. Artinya bahwa penetapan suatu hukum itu tiada lain kecuali untuk menerapkan kemaslahatan umat manusia, yakni menarik suatu manfaat, menolak bahaya atau menghilangkan suatu kesulitan bagi umat manusia.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan maslahah mursalah adalah karakter yang memiliki keselarasan dengan perilaku penetapan syari’at dan tujuan-tujuannya, namun tidak terdapat dalil secara spesifik yang mengukuhkan atau menolaknya, dengan proyeksi mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan mafadah (kerusakan).

B. Kontroversial Ulama Tentang Kehujahan Maslahah Mursalah

Berkenaan dengan maslahah mursalah ini, kalangan ulama masih berselisih pendapat akan kehujahan maslahah mursalah dalam posisinya sebagai dalil syara’. Sebagian ulama menerima mashlahah mursalah sebagai hujjah syara’ yang digunakan sebagai landasan penetapan hukum. Sedangkan sebagian lagi menolak maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum. Berikut pemakalah paparkan masing-masing argumentasi dari mereka, baik yang menerima maupun yang menolak maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum.
Alasan ulama yang menerima maslahah mursalah sebagai hujjah:
Pertama: kemaslahatan manusia itu selalu baru sesuai dengan perkembangan jaman. Sehingga menuntut adanya ketetapan hukum sesuai dengan perkembangan kemaslahatan tersebut. Sebab bila, hukum itu tidak disesuaikan maka kemaslahatan manusia yang menjadi tujuan dari penetapan hukum tidak akan tercapai.
Kedua: bila dicermati banyak hukum yang diterapkan oleh para sahabat nabi, tabi’in, dan para imam mujtahid tiada lain orientasinya adalah untuk mencapai kemaslahatan umum, bukan karena saksi dianggap oleh syari’. Seperti pengumpulan berkas-berkas al-Qur’an oleh Abu Bakar, memerangi orang-orang yang tidak membayar zakat. Penetapan jatuhnya talak tiga hanya dengan satu ucapan oleh Sayyidina Umar, menyusun administrasi, menetapkan kewajiban pajak, menghentikan hukuman terhadap pencuri di masa krisis pangan.
Semua bentuk kemaslahatan yang menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum di atas adalah kemaslahatan umum. Mereka menetapkan hukum berdasarkan hal itu karena kemaslahatan, karena tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.
Namun demikian, para ulama yang menerima maslahah mursalah sebagai hujjah sangat hati-hati dalam menggunakannya, sehingga tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan nafsu. Oleh karena itu mereka menetapkan tiga syarat dalam menjadikannya sebagai hujjah:
1. Berupa kemaslahatan yang hakiki, artinya penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya benar-benar menarik suatu manfaat atau menolak bahaya.
2. Berupa kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi. Artinya penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia.
3. Tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan berdasarkan nash atau ijma’.
Maka tidak boleh menganggap suatu kemaslahatan yang menuntut persamaan hak waris antara anak laki-laki dan perempuan karena bertentangan dengan nash al-Qur’an. Oleh karena itu fatwa Yahya bin Yahya al Laitsi al-Maliki, ulama fiqh Spanyol dan murid Imam Malik bin Anas adalah salah; yaitu seorang raja dari negara Spanyol berbuka dengan sengaja di siang hari bulan RAmadhan. Imam Yahya berfatwa bahwa tidak ada tebusan karena merusak puasanya kecuali dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Imam Yahya mendasarkan fatwanya bahwa kemaslahatan menuntut hal ini, karena tujuan membayar tebusan adalah membuat jera dan menahannya sehingga ia tidak kembali kepada dosa yang seperti itu. Dan tidak ada yang membuat raja itu jera kecuali dengan puasa berturut-turut ini. Sebab dengan memerdekakan budak, itu sangat ringan baginya dan tidak akan membuatnya jera.
Fatwa ini didasarkan pada kemaslahatan, tetapi ini bertentangan dengan nash. Karena nash yang jelas dalam denda orang yang membatalkan puasa di siang hari dengan sengaja di bulan ramadhan adalah memerdekakan budak, bila tidak mampu maka harus berpuasa berturut-turut dan bila tidak mampu maka memberi makan kepada enam puluh orang miskin, tanpa membedakan pelakunya itu orang kaya ataupun miskin.
Alasan ulama yang menolak maslahah mursalah sebagai hujjah
Pertama: Syari’at telah mencakup seluruh kemaslahatan manusia, baik dengan nash maupun dengan apa yang ditunjukkan oleh qias. Sebab syari’ tidak akan membiarkan manusia dalam kesia-siaan dan tidak membiarkan kemaslahatan yang manapun tanpa memberikan petunjuk pembentukan hukum untuk kemaslahatan itu. Sedangkan kemaslahatan yang tidak ada saksi dari syari’ yang menunjukkan anggapannya, pada hakekatnya adalah bukan kemaslahatan, melainkan hanya kemaslahatan semu yang tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.
Kedua: penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan umum adalah membuka kesempatan hawa nafsu manusia, seperti para pemimpin, penguasa, ulama, pemberi fatwa. Sebagian dari mereka kadang-kadang dikalahkan oleh hawa nafsunya sehingga mereka mengkhayalkan kerusakan sebagai kemaslahatan. Sedangkan kemaslahatan itu adalah hal yang relatif, tergantung sudut pandang dan lingkungan. Maka penetapan hukum syari’at karena kemaslahatan umum berarti membuka pintu kejelekan.

C. Macam-Macam Maslahah Mursalah

Ulama membagi maslahah mursalah menjadi tiga bagian, yaitu: Maslahah Dharuriyyah, maslahah Hajiyyah, dan maslahah Tahsiniyyah.
1. Maslahah Dharuriyyah.
Maslahah dharuriyyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan maka rusaklah kehidupan, timbul fitnah dan kehancuran.
Perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Di antara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islamiyyah.
Di antara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara akal jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Ketetapan qisash bagi orang yang melakukan tindak pidana.
Di antara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk tidak minum khamr dan segala sesuatu yang memabukkan.
Di antara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghindarkan diri dari zina. Juga pelaksanaan hukuman yang dikenakan pada pelaku zina.
Di antara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara harta adalah kewajiban untuk menjauhkan pencurian. Begitu juga pemotongan tangan pencuri laki-laki atau perempuan. Dan juga larangan riba serta keharusan bagi orang untuk mengganti harta yang telah dilenyapkan.
2. Maslahah Hajiyyah
Maslahah Hajiyyah adalah semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lima, yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap bisa tercapai, tapi dapat menghindarkan kesulitan.
Hajiyyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajiyyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan bidang jinayat.
Dalam hal ibadah, misalnya, qashar sholat, berbuka puasa bagi yang musafir.
3. Maslahah Tahsiniyyah
Masalah Tahsiniyyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dipergunakan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul ahlak.
Tahsiniyyah ini, juga masuk dalam masalah ibadah, adat, muamalat, dan bidang uqubat, lapangan ibadah misalnya, kewajiban dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat dan mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunnah, seperti puasa sunnah, shalat sunnah, dan bersedekah, dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, adat minum, memilih makanan-makanan yang baik dari yang tidak baik/bernajis.
Dalam lapangan mu’amalah, misalnya larangan menjual barang-barang yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya.
Dalam lapangan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang {khianat} dalam timbangan ketika jual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Imam Abu Zahrah, menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyyah, yaitu melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan umum dengan memakai pakaian-pakaian yang tidak sewajarnya atau perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini dapat menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga terutama oleh agama.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya merupakan sebuah kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa menjadi wanita-wanita yang baik {sholihah} menjadi kebanggaan keluarga dan agama di masa mendatang.

D. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Kalangan ulama yang mengakui kehujahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari’atnya.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1. Maslahah itu harus hakekat, bukan dugaan. Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
2. Maslah harus bersifat umum, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam al-Ghazali memberi contoh tentang maslhah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh; orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslim. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang Islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ii dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
3. Maslahah itu harus sejalan dengan hukum-hukum yang dituju oleh syari’. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh syari. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejlan dengan apa yang telah dituju Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak membentuknya, dan tidak menganggap salah.

KESIMPULAN


Menurut istilah ulama ushul maslahah adalah kemaslahatan yang oleh syari’ tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu. Artinya bahwa penetapan suatu hukum itu tiada lain kecuali untuk menerapkan kemaslahatan umat manusia, yakni menarik suatu manfaat, menolak bahaya atau menghilangkan suatu kesulitan bagi umat manusia
Ulama membagi maslahah mursalah menjadi tiga bagian, yaitu: Maslahah Dharuriyyah, maslahah Hajiyyah, dan maslahah Tahsiniyyah. Maslahah dharuriyyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan maka rusaklah kehidupan, timbul fitnah dan kehancuran.
Maslahah Hajiyyah adalah semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lima, yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap bisa tercapai, tapi dapat menghindarkan kesulitan.
Masalah Tahsiniyyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dipergunakan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul ahlak.

DAFTAR PUSTAKA

Uman, chaerul. 2002. Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia.
Syari’I, Rahmat.2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.
Forum Karya Ilmiah.2005. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam.Kediri : FKI.
Wahhab, Abdu Khallaf.1977.Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : Pustaka Amani
Ash-Shiddieqy, Hasbi.1997.Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Mubarok, Jaih, 2002. Kaidah Fiqh, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar