Sabtu, 20 November 2010

Anak Zina Dan Li’an Dalam Hukum Waris

Seiring dengan perkembangan jaman yang rentan dengan budaya pergaulan bebas, besar sekali kemungkinan serta peluang yang menggiring para remaja sekarang pada kasus perzinahan. Selain larangan agama, zina merupakan perbuatan amoral yang amat tercela.
Dalam Islam seorang anak yang lahir dari zina, maka memiliki konsekuensi hukum tersendiri. Terutama dalam hal yang terkait dengan status dirinya, perwaliannya dan hak waris-mewarisinya.
A. Pengertian Anak Zina dan Li’an
Syeikh Musthafa al-Syalabi mendefinisikan anak zina dengan pernyataan

ولد الزنى هو ما جاء نتيجة اتصال الرجل بالمرأة بغير زواج شرعي او ثمرة العلاقة الآثمة بين الرجل والمرأة.
“Anak zina itu adalah anak hasil dari hubungan laki-laki dengan perempuan tanpa pernikahan Syar’I, atau buah dari hubungan dosa antara laki-laki dan perempuan”.
Berbeda dengan anak li’an yang justru lahir dalam ikatan perkawinan yang sah namun sang suami tidak mengakui nasibnya setelah melemparkan tuduhan zina pada istrinya. Dan hakim telah memutuskan akan terputusnya nasab setelah proses li’an dilaksanakan antara suami istri.
Yaitu Mula-mula hakim memerintahkan suami untuk bersumpah empat kali bahwa ia di pihak yang benar dalam menuduh istrinya berbuat zina dan tidak mengakui anaknya, kemudian yang kelima kalinya suami diperintahkan menyatakan kesediaan menerima laknat Allah apabila ia di pihak yang bohong.
Setelah suami menyatakan demikian, giliran istri diminta bersumpah empat kail bahwa suaminya di pihak yang bohong dalam menuduhnya berzina dan tidak mengakui anaknya itu, kemudian yang kelima kalinya menyatakan kesediaannya menerima murka Allah apabila suaminya di pihak yang benar dalam tuduhannya itu.
Apabila sumpah li’an telah selesai dilakukan, suami istri wajib diceraikan an anaknya tidak bernasib kepada suami, tetapi bernasib pada ibunya. Hal ini berakibat bahwa antara ibu dan anak terjadi waris-mewarisi, tetapi antar anak dan bapak tidak waris mewarisi karena terputusnya hubungan nasab setelah sumapah li’an.
B. Status Nasab Anak Zina Dan Li’an
Anak li’an dan anak zina status nasabnya ditetapkan pada ibunya secara pasti. Karena keduanya merupakan bagian dari ibu secara hakekat dan tidak memiliki ayah secara syar’i
Jumhur Ulama sepakat bahwa anak zina tidak bernasab pada bapaknya. Berbeda dengan ibnu Taimiyah yang mengatakan anak zina tetap bernasab pada ayah apabila telah dilaksanakan had dan ia mengakuinya sehingga boleh saling mewarisi. Pendapat ini dengan catatan sang ibu bukan istri orang lain dan tidak dalam masa iddah.
Sedangkan anak li’an sama sekali tidak bernasab pada orang lain. Karena ia lahir dalam ikatan pernikahan sementara bapaknya tidak mengakuinya.
C. Hukum Waris Anak Zina Dan Li’an
Hukum waris anak zina dan li’an itu sejalan dengan status nasabnya. Beberapa hadits yang menjelaskan tentang waris anak lia’an diantaranya :

وروي أبو داود عن عمر بن شعيب عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم جعل ميراث ابن الملاعنة لأمه ولورثتها من بعدها.
“Diriwayatkan oleh abu daud dari ‘Umar bin Syuaib dari ayahnya dari datuknya bahwa nabi menjadikan warisnya anak zina pada ibunya dan ahli waris setelah ibunya”
وروى أصحاب السنن الاربعة عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال: المرأة تحوز ثلاثة مواريث عتيقها ولقيطها وولدها الذي لاعنت عنه
“Diriwayatkan oleh ashabu sunan yang empat dari nabi SAW, bersabda:” perempuan itu memperoleh tiga warisan, dari budaknya, anak pungutnya, dan anaknya yang dili’an”
Dari beberapa hadis ini menunjukkan bahwa anak li’an tidak dapat saling mewarisi dengan orang yang meli’an serta para kerabatnya. Begitu pula anak zina, hanya bisa saling mewarisi dengan ibunya saja serta kerabatnya.
Oleh karena anak zina dan anal li’an itu terputus nasabnya dari ayahnya, maka antara keduanya tidak dapat saling mewarisi begitu juga antara keduanya dengan kerabat bapak. Karena hukum saling mewarisi itu tergantung pada hubungan kekerabatan yang berdasarkan pada tali nasab, sehingga apabila tali nasab itu sudah tidak ada maka hukum saling mewarisi pun juga tidak ada.
Hukum saling mewarisi kemudian hanya berlaku antara keduanya dengan ibunya saja, saudaranya yang seibu, saudaranya ibu dan kerabat-kerabatnya
Namun bagi anak zina masih ada kemungkinan bisa saling mewarisi dengan ayahnya. Hal ini terjadi apabila sang ayah mencabut ucapannya dan menjalankan had qadf dan mengakuinya lagi sebagaimana anaknya.
D. Hak Waris Untuk Anak Yang Lahir Karena Zina Dan Anak Li'an
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir karena perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagai berikut:
Pendapat Pertama
Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'i berpendapat bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui. Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat dari Ali r.a..
Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap, dan sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya pengembalian (ar-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.
Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'du sebagai dalil. "...Sunnah menetapkan bahwa anak li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah." (Nail al-Authar, juz VI, hlm.184)
Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari 1/6.
Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat, meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris: ibu, ayah, paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini, seluruh warisan hanya diberikan kepada ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (ar-radd). Hal ini disebabkan paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam kelompok dzawil arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya terputus.
Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8, anak perempuan 1/2, dan sisanya untuk anak perempuan tersebut. Sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi ketika ada bersama pokok atau cabang yang mewarisi.


Pendapat Kedua
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat diwarisi dengan cara ashabah. Ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya atau mereka yang mewarisi dari ibunya. Sebagian orang berkata, "Jika Anda ingin mengetahui ashabah anak li'an, lihatlah ashabah ibunya kalau ibunya wafat. Itulah yang menjadi ashabah anak li'an."
Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar pun berpendapat demikian. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar dari kalangan tabi'in, seperti 'Atha, Mujahid, an-Nakha'i, dan asy-Sya'bi. Hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat demikian adalah sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan mengenai hal ini, "Ashabah-nya adalah ashabah ibunya."
Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, "Ibu mendapatkan bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian tersebut dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan kerabatnya, misalnya anak laki-laki atau istri si mayit. Jika si mayit mempunyai anak laki-laki atau istri, mereka berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya dalam masalah waris-mewarisi."
Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda Nabi saw., "Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika ada sisa, pertama-tama untuk ahli waris laki-laki yang terdekat."
Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki yang paling dekat dengan anak li'an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan kepada ibunya, setelah bagian ashhabul furudh diberikan. Jikalau nasab anak li'an berpindah dari ayahnya kepada ibunya, maka berpindah juga ashabahnya dari kerabat ayah kepada kerabat ibu.
Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah.
Jika seorang anak li’an wafat, meninggalkan ibu dan paman dari pihak ibu, maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari pihak ibu mendapatkan 2/3 sebagai ashabah.
Pendapat Ketiga
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah ibunya karena ibu bagi mereka sama seperti kedua orang tua, yakni ayah dan ibu. Jika tidak ada ibu, ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibu. Pendapat ini juga disampaikan oleh beberapa tabi'in, di antaranya Hasan dan Ibnu Sirin.
Di sini ada perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan mazhab sebelumnya. Pada pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya. Kalau sang ibu hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya (fardh) dan sisanya diambil oleh ashabah ibunya.
Sedangkan pendapat yang ketiga ini, menerima mereka yang menjadi ashabah ibunya sebagai ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina, dengan syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang menjadi ashabah-nya, atau dengan kata lain, sang ibu akan mengambil seluruh harta warisan anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina. Dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang pendapat seperti ini adalah sabda Rasulullah saw., "Perempuan menguasai tiga warisan, warisan budak yang dimerdekakannya, barang yang ditemukannya, dan warisan anak li'an-nya." (HR Abu Daud, Turmudzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ashabah, ibu pun mewarisi dari anak li'an-nya dengan cara ashabah juga, karena ibu sama derajatnya dengan ayah dan ibu si anak li'an. Sebagai bukti, Ibnu Abbas pernah berkata, "Ibu anak li'an adalah ayah dan ibunya."
Dengan demikian, jika seorang anak li'an wafat meninggalkan istri, ibu, dan saudara perempuan seibu, maka istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap, dan ibu mendapatkan seluruh sisanya, sebagai bagian tetap dan sekaligus sebagai ashabah. Apabila ibu tidak ada, istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap dan saudara perempuan mendapatkan sisa sebagai ashabah dan bagian tetap.
Jika ia wafat, meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu, maka saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Cara pembagian yang demikian sesuai dengan dua pendapat tersebut.
Setelah kita memaparkan beberapa pendapat ulama fiqih di atas, tampaklah bagi kita bahwa pendapat ketiga lebih kuat dan dapat diterima, karena memang asal nasab itu dari ayah. Apabila nasab dari pihak ayah terputus, maka secara otomatis seluruh nasabnya berpindah ke ibu, sebagaimana asal ketaatan itu untuk orang yang memerdekakan ayah, kalau ayah budak. Ketaatan dapat kembali berpindah ke ayah sebagai asal, jika ayah dimerdekakan setelah ketaatan pindah ke ibu.
Mazhab ini merupakan mazhab Abdullah ibnu Mas'ud, Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Ibnul Qayyim berkata, “Berdasarkan pendapat di atas, Al-Qur'an telah menunjukkan dengan isyarat yang sangat indah dan halus. Allah menjadikan Isa dari anak-cucu Ibrahim lewat perantara Maryam, ibunya. Maryam pun berasal dari anak cucu Ibrahim. Jika ada yang bertanya, 'Kemudian, bagaimana dengan riwayat dari Sahl yang menjelaskan bahwa Sunnah yang berlaku adalah anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya dapat mewarisi darinya sesuai bagian yang telah ditetapkan Allah?' Kita jawab, 'Kita terima itu karena ketika ibu menjadi ashabah, tidak menggugurkan bagian yang telah ditetapkan Allah. Sesungguhnya, ibu anak itu seperti ayah, yang terkadang dapat mewarisi bagian tetap dan terkadang mewarisi bagian ashabah. Ibu pasti mengambil bagian tetap-nya, dan jika ada sisa, ia dapat mengambilnya dengan cara ashabah.'”




Kesimpulan
Anak li’an dan anak zina status nasabnya ditetapkan pada ibunya secara pasti. Karena keduanya merupakan bagian dari ibu secara hakekat dan tidak memiliki ayah secara syar’i
Jumhur Ulama sepakat bahwa anak zina tidak bernasab pada bapaknya. Berbeda dengan ibnu Taimiyah yang mengatakan anak zina tetap bernasab pada ayah apabila telah dilaksanakan had dan ia mengakuinya sehingga boleh saling mewarisi. Pendapat ini dengan catatan sang ibu bukan istri orang lain dan tidak dalam masa iddah.
anak zina dan anal li’an itu terputus nasabnya dari ayahnya, maka antara keduanya tidak dapat saling mewarisi begitu juga antara keduanya dengan kerabat bapak. Karena hukum saling mewarisi itu tergantung pada hubungan kekerabatan yang berdasarkan pada tali nasab, sehingga apabila tali nasab itu sudah tidak ada maka hukum saling mewarisi pun juga tidak ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar